Ilmuwan tidak yakin mengapa kandungan tembaga di cacing darah sangat tinggi dibanding logam yang lain seperti yang biasa digunakan oleh invertebrata laut seperti besi atau seng. Kemungkinan besar karena reaksi terhadap racun yang tersimpan di taringnya. “Cacing Glycera bisa menyimpan racun di dalam taring. Dan racun itu bergerak melalui saluran di rahang dalam perjalanan mereka ke mangsanya,” kata Waite.
Untuk menyelidiki bagaimana cacing darah menyatukan taring khas mereka, Waite dan timnya mengidentifikasi urutan genetik yang mengkode protein utama di rahang. Mereka menemukan komposisi kimia protein cukup sederhana, dengan sekitar 80 persen diwakili oleh dua asam amino. Tim Selanjutnya para ilmuwan melakukan versi sederhana dari proses pembentukan rahang.
Mereka menambahkan tembaga dan protein buatan mereka, lantas mengamati bahwa kedua bahan menjadi terkonsentrasi menjadi tetesan kecil. Ketika ditambahkan molekul yang disebut Dopa (yang sering diubah hewan lain menjadi melanin), tetesan jadi lebih gelap dan membentuk lapisan padat. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa ada satu protein yang memainkan banyak peran penting dalam pembentukan rahang cacing darah.
Protein itu bisa mengikat tembaga, mengkonsentrasikan dirinya menjadi tetesan, mengubah Dopa menjadi melanin, dan akhirnya membentuk bahan komposit. “Apa yang dilakukan cacing darah untuk membentuk rahangnya ini memberi kita semacam cetak biru tentang bagaimana material komposit dapat dibuat dan tidak terlalu bergantung pada alat berat, misalnya, mixer atau blender,” kata Waite.
Kemampuan alami cacing darah menciptakan bahan keras menawarkan pelajaran berharga, kata Waite. Dengan proses pembentukan taring yang luar biasa, Waite melihat kesamaan dalam beberapa hal dengan cacing pasir raksasa yang mengisi novel Dune. “Cacing yang hidup di gurun ini menghasilkan sesuatu yang disebut rempah-rempah yang diinginkan semua orang di alam semesta,” kata Waite. “Organisme sederhana ini dapat menyimpan teknologi yang sangat berguna,” tambahnya.
Editor : Edi Purwanto