get app
inews
Aa Text
Read Next : Pasangan Mas Ibin-Elim Jadi Harapan Baru di Pilkada Kota Blitar 2024

Kisah Soeharto di Gunung Wilis Nganjuk Saat Bung Karno Proklamasikan Kemerdekaan Indonesia

Rabu, 17 Agustus 2022 | 14:03 WIB
header img
Soeharto masih berada di lereng Gunung Wilis Nganjuk saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. (foto: repro)

JAKARTA, iNewsBlitar - Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 telah dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Namun Jepang tetap merahasiakan terjadinya peristiwa bersejarah itu.

Terutama kepada pasukan Pembela Tanah Air (Peta), kabar tersebut ditutup rapat-rapat. Banyak tentara Peta di luar Jakarta yang belum tahu Indonesia telah merdeka dan sang saka merah putih telah berkibar.

Mereka juga tidak tahu bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Chudancho (Komandan kompi) Soeharto yang kelak menjadi Presiden Indonesia kedua, salah satu yang tidak mendengar kabar Proklamasi Kemerdekaan.

“Sama sekali tidak terlintas dalam benak Soeharto bahwa Jepang telah menyerah atau terpikir bahwa Soekarno telah menyatakan kemerdekaan Indonesia,“ tulis David Jenkins dalam buku Soeharto Di Bawah Militerisme Jepang.

Soeharto bergabung sebagai tentara Peta selama 22 bulan. Sebelum di Peta ia merupakan tentara  KNIL (tentara Belanda) yang resmi dimasukinya mulai 1 Juni 1940. KNIL ia tinggalkan setelah Jepang mengalahkan Belanda.

Di Peta, Soeharto memulai karir sebagai sukarelawan pasukan Kepolisian Jepang, Keibuho. Pada 1 Desember 1942 bersama sejumlah temannya, ia mendaftar Keibuho Yogyakarta. Karirnya melesat dengan cepat. Pada 8 Oktober 1943, Soeharto diangkat sebagai Shodancho (Komandan peleton) dan ditempatkan di wilayah Wates, Yogyakarta.

Pada tahun 1944, setelah mengikuti pendidikan militer lanjutan di Bogor, Jawa Barat, ia diangkat menjadi Chudancho. “Di asrama Peta Bogor ia tinggal bersama-sama dengan Shodancho Singgih,” tulis O.G Roeder dalam Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto.

Singgih merupakan putra Panji Singgih, teman Bung Karno dalam pergerakan nasional. Pada 16 Agustus 1945, Singgih bersama Sukarni terlibat dalam penculikan Bung Karno dan Bung Hatta yang dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.

Pada 15 Agustus 1945, di mana para tokoh pergerakan di Jakarta mengalami situasi tegang, Soeharto berada di Brebeg, Nganjuk, Jawa Timur, di kawasan lereng Gunung Wilis. Ia di Brebeg sejak Maret 1945.

Sebelumnya pada akhir 1944 dan awal 1945, ia mondar-mandir antara Solo, Jakarta, dan Madiun. Di Brebeg, Nganjuk Soeharto ditugasi Jepang melatih kembali para prajurit batalyon Peta Blitar yang dilucuti dan kehilangan semangat paska pemberontakan Shodancho Soeprijadi 14 Februari 1945.

Paska pemberontakan yang gagal itu, sisa prajurit batalyon Peta Blitar yang menyerah dialihkan ke Brebeg Nganjuk. Mereka ditempatkan di sebuah desa sepi, di mana masih rimbun hutan cemara dengan banyak berkeliaran laba-laba hitam beracun.

Sebagai hukuman, semua senjata mereka dilucuti dan diganti senjata kayu. “Soeharto dikirim ke Brebeg, melatih anggota Peta yunior untuk menjadi bundancho, sehingga dapat menggantikan senior mereka yang ditahan Jepang,” tulis David Jenkins.

Pada 18 Agustus 1945, yakni sehari Proklamasi Kemerdekaan, Soeharto masih belum tahu Indonesia telah merdeka. Ia semakin tidak mengerti, ketika usai melatih prajurit Peta, tentara Jepang tiba-tiba  memerintahkan semua untuk bubar.

“Begitu saya selesai melatih prajurit-prajurit Peta tersebut, kami diperintahkan bubar,” kata Soeharto dalam memoarnya seperti dikutip dari buku Soeharto Di Bawah Militerisme Jepang.

Dua hari kemudian atau 19-20 Agustus 1945, terjadi peristiwa yang membuat Soeharto semakin bingung. Peta dinyatakan telah dibubarkan disusul pelucutan senjata oleh Tentara ke-16 AD Jepang. Sebanyak 13.000 pucuk senjata diserahkan tanpa terjadi insiden.

Yang diketahui Soeharto, sesudah kesatuan-kesatuan Peta menyerahkan senjata, sejumlah perwira tentara Jepang tiba-tiba muncul secara rahasia di lerang Gunung Wilis. Mereka mengabarkan bahwa tentara Peta telah dibubarkan.

Para prajurit Peta, termasuk Soeharto dan rekan-rekanya dibebaskan pulang ke tempat asal masing-masing. Sebelum pulang Soeharto dan rekan-rekannya mendapat bayaran enam bulan gaji, ditambah jatah pakaian, serta bahan makan berupa beras, garam dan gula.

Soeharto merupakan salah satu dari 2.150 perwira Peta yang dibubarkan sekaligus dilucuti Jepang. Soeharto yang tidak memiliki hubungan dengan para pemimpin gerakan nasionalis kemudian memutuskan pulang ke Yogyakarta.

Dalam perjalanan ia mendengar kabar tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan Jepang telah menyerah kepada sekutu, namun semua itu belum bisa dipastikan kebenarannya.

Sesampai di kota Yogyakarta pada akhir Agustus 1945, Soeharto melihat dengan mata kepala sendiri demam revolusi kemerdekaan. Pekik merdeka terdengar di mana-mana. Kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata benar adanya.

Dikutip dari Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, mantan perwira Peta Soeharto sangat kagum menyaksikan keadaan itu. “Ia merobah rencana pulang ke kampung asalnya dan memutuskan untuk tinggal di kota revolusi ini”.

Tidak berlangsung lama, kelak pada 5 Oktober 1945, Soeharto ditunjuk sebagai wakil komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Dalam sejarah Indonesia, Soeharto kemudian menjadi Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Bung Karno.

Editor : Solichan Arif

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut