SUDAH tak banyak lagi hutan di Pulau Jawa, yang kondisinya masih utuh dan lestari. Desakan perkembangan manusia dan kebutuhan yang mengikutinya, membuat kondisi hutan di Pulau Jawa semakin hari semakin surut. Tidak demikian dengan Hutan Donoloyo yang ada di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri, Jateng. Hutan jati ini tetap lestari hingga kini, bahkan saat penjarahan hutan marak terjadi pada tahun 1998-2000-an, Hutan Donoloyo tak sedikitpun disentuh oleh para penjarah.
Masyarakat setempat mengenal Hutan Donoloyo ini dengan sebutan Alas Donoloyo. Sejak 30 Maret 1961, Alas Donoloyo ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Brigade Planologi Kehutanan No. 1160/V/6/P1.k, dengan luas 8,30 hektare. Status Cagar Alam Donoloyo, semakin diperkuat dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Penunjukan Menteri Kehutanan No. SK.359/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004. Hutan ini berada di ketinggian 450 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dilansir dari ksdajateng.id, cagar alam ini dulunya merupakan hutan jati milik Keraton Surakarta, dan menjadi pemasok seluruh kebutuhan kayu untuk pembangunan Keraton Surakarta. Bahkan, saat dibangun lagi setelah terbakar pada tahun 1985, bahan kayu jati Keraton Surakarta diambil dari Cagar Alam Donoloyo. Hutan alami yang dihuni berbagai jenis burung khas Pulau Jawa, seperti betet, gelatik, perkutut, tekukur, kutilang, kepodang, gemak, hingga ular sanca cokelat ini, banyak memikat masyarakat untuk berwisata.
Punden di hutan Cagar Alam Donoloyo terletak di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Hutan ini dipercaya sebagai produsen kayu jati penyangga istana kerajaan Demak, Mataram Islam, hingga Surakarta. Foto/Dok.ksdajateng.id
Di balik kelestarian hutan jati ini, tersimpan legenda tentang Ki Ageng Donoloyo, yang disebut sebagai keturunan Raja Majapahit. Ki Ageng Donoloyo, dipercaya masyarakat setempat sebagai penjaga hutan jati ini. Bahkan, di tengah Alas Donoloyo, juga berdiri punden atau tempat persembahan yang hingga kini menjadi tempat masyarakat untuk melakukan ritual khusus.
Kisah legenda Ki Ageng Donoloyo ini, terungkap dari hasil penelitian akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, Hesti Sulistyarini, dan Sudaryono yang dimuat dalam Journal of Empowerment Community and Education, Volume 1 Nomor 3 Tahun 2021. Dalam penelitian tersebut, Hesti Sulistyarini, dan Sudaryono mengutip buku berjudul "Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi (Vol. 53)" karya Prastowo, K.
Dalam buku tersebut, dikisahkan tentang Legenda Donoloyo yang berkembang menjadi cerita rakyat dan menceritakan tentang asal usul Punden Donoloyo. Legenda Donoloyo menceritakan kisah tentang keturunan Raja Majapahit, yang terpaksa harus meninggalkan wilayahnya karena runtuhnya Kerajaan Majapahit, usai mengalami masa kejayaan saat dipimpin Raja Hayam Wuruk, dan Mahapatih Gajahmada.
Keturunan Raja Majapahit yang disebutkan dalam Legenda Donoloyo, adalah Ki Donosari, Nyi Donowati, dan kerabatnya Pangeran Meleng. Saat dalam perjalanan ke luar dari wilayah Kerajaan Majapahit, Nyi Donowati dan Pangeran Meleng akhirnya menikah, lalu hidup bersama di Desa Sukoboyo. Sementara jalan berbeda dipilih oleh Ki Donosari. Dia memilih melanjutkan perjalanan, dan tinggal di Desa Watusomo. Ki Donosari menginginkan hutan jati, dan memohon bantuan kepada Ki Ageng Meleng.
Sayangnya, permintaan Ki Donosari tersebut ditolak oleh Ki Ageng Meleng. Melihat hal itu, istri Ki Ageng Meleng, Nyi Donowati menyuruh Ki Donosari untuk pulang dengan membawa tongkat bambu wulung. Tongkat bambu wulung tersebut, secara diam-diam telah diisi tiga biji pohon jati oleh Nyi Donowati. Akhirya Ki Donosari pulang kembali ke Desa Watusomo, dan di perjalanan dua biji pohon jati yang dimasukkan oleh Nyi Donowati ke dalam bambu wulung terjatuh.
Sesampainya di Desa Watusomo, Ki Donosari hanya menemukan satu biji pohon jati yang tersisa. Satu biji pohon jati itu akhirnya ditanam di lahannya. Biji pohon jati tumbuh menjadi pohon jati yang besar dan dinamakan Jati Cempurung. Jati Cempurung inilah yang dipercaya menjadi cikal bakal hutan jati. Pada saat yang sama, Kesultanan Demak sedang membangun masjid agung.
Raden Patah memerintahkan Walisongo untuk mencari bahan tiang utama masjid. Walisongo mengetahui tentang hutan jati di Desa Watusomo, dan akhirnya mengunjungi hutan tersebut. Sunan Giri, salah satu anggota Walisongo, akhirnya bertemu dengan Ki Donosari dan mengungkapkan maksudnya untuk mengambil pohon Jati Cempurung, untuk tiang utama masjid agung di Kesultanan Demak. Tak disangka, Ki Donosari menyanggupi keinginan Sunan Giri. Tetapi, harus dipenuhi tiga syarat utama. Prasyarat yang diajukan Ki Donosari adalah, desa di kawasan hutan jati itu dijauhkan dari wabah penyakit, dijauhkan dari ajang perang, dan dicukupkan sandang pangan bagi warga sekitar hutan.
Sunan Giri menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Ki Donosari, untuk menebang Jati Cempurung. Sunan Giri juga bersabda, nama Ki Donosari diubah menjadi Ki Ageng Donoloyo, dan hutan jati itu akhirnya juga bernama Alas Donoloyo. Sementara itu, tunggak bekas Jati Cempurung yang telah ditebang digunakan sebagai punden yang menjadi tempat memohon dan bersyukur dalam acara nyadran.
Dalam Legenda Donoloyo, juga terdapat mitos yang masih dipercayai oleh masyarakat. Mitos tersebut adalah larangan untuk mengambil kayu dari hutan, larangan untuk memakai baju hijau lumut, dan anjuran untuk menjaga kelestarian hutan. Selain itu ada larangan untuk warga Desa Watusomo menikah dengan warga Desa Sukoboyo, karena terkait perseteruan antara Ki Ageng Donoloyo, dengan Ki Ageng Meleng. Legenda Donoloyo ini, ternyata menjadi salah satu penjaga kelestarian Alas Donoloyo hingga kini. Hutan konservasi ini tidak mengalami kerusakan, dan tanamannya mampu tetap tegak berdiri hingga kini, meskipun telah berusia ratusan tahun.iNewsBlitar
Editor : Edi Purwanto