"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".
Sepenggal cerita pengangkatan Gajah Mada, sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) yang tercatat dalam kitab Pararaton, apabila diterjemahkan memiliki arti "Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Sumpah tersebut, sempat menggemparkan seantero Nusantara. Kegemparan itu, termuat dalam tulisan sejarawan Slamet Muljana dalam "Tafsir Sejarah Nagarakretagama". Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Respons negatif para petinggi kerajaan Majapahit tersebut, membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan.
Analisa tersebut, juga dikuatkan oleh tulisan Muhammad Yamin dalam "Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara". Dalam tulisannya, Yamin menyebutkan, Gajah Mada meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Sang mahapatih merasa sakit hati karena harus menghadapi rintangan dari petinggi kerajaan, untuk mewujudkan sumpahnya. Berbagai intrik politik yang didasari oleh rasa tidak suka dan kedengkian, menjangkiti internal kerajaan Majapahit, utamanya di kalangan para petinggi kerajaan.
Meskipun dalam perjalanannya Gajah Mada, dibantu oleh Arya Tadah, ternyata Arya Tadah juga sempat ikut menertawakan sumpah yang diucapkan sang mahapatih. Dalam tulisannya, Slamet Mujana menyebutkan, Arya Tadah atau Empu Krewes sebenarnya menyimpan rasa dengki terhadap Gajah Mada, karena dia tidak rela Gajah Mada menggantikan posisinya sebagai mahapatih di kerajaan Majapahit.
Di tengah badai intrik politik petinggi kerajaan Majapahit, Gajah Mada mulai mencoba mewujudkan sumpahnya untuk menyatukan Nusantara. Upaya itu dilakukan selama 21 tahun, yaitu pada tahun 1336-1357 Masehi. Upaya penyatuan Nusantara itu, dilakukannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan yang berada di luar kekuasaan Majapahit, seperti Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura).
Dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14, nama-nama kerajaan yang ditundukkan lebih banyak dari pada yang disebutkan sumpahnya. Penakhlukkan kerajaan-kerajaan di luar Majapahit, untuk mewujudkan Sumpah Palapa tersebut, terus dilakukan Gajah Mada saat raja Majapahit berganti dari Tribhuwanatunggadewi, ke Raja Hayam Wuruk (1350-1389).
Editor : Edi Purwanto