SEORANG mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bernama Mohamad Kasim Arifin "hilang" ketika mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tak tanggung-tanggung, Kasim menghilang di lokasi KKN selama 15 tahun.
Selidik punya selidik, mahasiswa Fakultas Pertanian itu hilang di Pulau Seram, Maluku. Kasim ternyata memiliki misi mulia. Dia mengabdikan dirinya untuk masyarakat Waimital, Pulau Seram. Totalitasnya membangun pertanian membuatnya lupa untuk pulang dan menyelesaikan skripsinya.
Seperti kebanyakan mahasiswa, Kasim mengikuti program kampusnya yang saat ini lebih dikenal dengan istilah KKN guna mengemban tugas memperkenalkan program Panca Usaha Tani. Di masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim kemudian mendapat lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku. KKN yang rencananya hanya berlangsung beberapa bulan saja, kemudian mengubah jalan hidup Kasim.
Pria yang lahir 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur larut dalam pengabdian panjang. Hatinya tergerak ketika bertemu dengan sebuah keluarga petani miskin yang datang melalui program transmigrasi. Dia pun bertekad untuk mencurahkan semua pengetahuan dan ilmu yang ia dapat selama menimba ilmu di IPB untuk masyarakat setempat. Kasim melucuti semua identitas mahasiswa asal kota yang melekat pada dirinya.
Kasim menjalani kehidupan sebagai seorang pria dengan keseharian memakai sandal jepit dan baju lusuh. Ia menjalani peran sebagai warga setempat yang berjalan sejauh puluhan kilometer bersama para petani menuju sawah setiap harinya. Menolong masyarakat Desa Waimital menjadi petani yang mandiri menjadi tekad Kasim.
Bersama warga setempat, Kasim juga membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi. Hebatnya, pengabdian itu dilakukan Kasim tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat masyarakat untuk bergotong-royong. Kasim peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri. Dia pun mendapat kasih sayang dari semua orang.
Karena dedikasinya dan sosoknya yang menghargai kesederhanaan, kedermawanan, dan memikiki tutur kata yang lembut, Kasim mendapat penghargaan dengan sapaan Antua. Sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Waimital. Kasim yang seharusnya hanya menjalani KKN tiga bulan di Waimital, tetap memilih tinggal di desa itu. Dia merasa tugasnya belum selesai.
Bahkan semua temannya telah diwisuda, dia masih setia di kampung itu. Hingga semua temannya lulus dan menjadi pejabat, dia tetap memilih di kampung itu hingga 15 tahun lamanya. Bahkan, ketika orang tuanya yang berada di Aceh memanggil pulang, Kasim tak bergeming. Panggilan yang sama juga datang dari Rektor IPB kala itu, Profesor Andi Hakim Nasution, namun Kasim tak menghiraukannya. Tak kehabisan akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Ķasim, untuk menjemputnya ke Waimital.
Akhirnya dengan berat hati, Kasim bersedia pulang ke Bogor, kota tempat ia menimba ilmu masih dengan mengenakan sandal jepit dan baju yang lusuh. Kampus memanggilnya untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana. Kasim sejatinya tak butuh gelar akademik tapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Kasim mengaku tidak memiliki keahlian menyusun skripsi. Dia akhirnya dibantu oleh teman-temannya yang memutuskan untuk mengangkat kisah perjuangan Kasim di Waimital sebagai pembahasan pada skripsi.
Bercerita selama 28 jam, teman-temannya yang mendengarkan dengan penuh haru. Mereka menganggap Kasim sebagai sosok yang memberikan bukti nyata akan pengabdian kepada masyarakat melampaui makna dari penugasan yang diterima lewat program KKN itu sendiri. Dia bukan seperti kebanyakan orang yang hanya berpikir untuk kuliah lalu bekerja, mengumpul harta, kemudian hidup bahagia.
Dia menemukan bahagianya dengan cara lain. Saat dia melihat petani tersenyum, hatinya bahagia. Selagi senyum itu belum hadir, dia akan menganggap tugasnya jauh dari kata selesai. Hari itu, 22 September 1979 di Hotel Salak, Bogor. Lelaki berkulit legam itu dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit. Temannya membawakan sepatu dan jas untuknya. Dia menolak memakainya. Namun, temannya bersikeras.
Hari itu, Kasim memasuki gedung IPB untuk wisuda. Mulanya dia ragu-ragu dan takut melihat banyak orang berdatangan. Pasalnya, semalaman dia tak bisa tidur di Hotel Salak karena pendingin udara dan suara bising di jalanan. Di acara wisuda, Kasim ingin duduk di kursi belakang. Namun ketika dia datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dia disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga. Dedikasi yang Kasim lakukan membuat banyak orang sangat menghormati dirinya.
Teman-temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya seorang petani yang bersahaja. Tapi dia justru jauh menjulang namanya dibandingkan rekan-rekannya. Namun, dia tetap Kasim yang sederhana. Selepas wisuda, Kasim kemudian memilih kembali ke Waimital. Dia meneruskan hal-hal yang ingin ia bangun. Melanjutkan kerja-kerja yang tertunda. Berbagai tawaran kerja yang datang pun diabaikannya.
Pada tahun 1982, ada satu cerita unik lainnya yang mengiringi kisah Kasim. Dia mendapatkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk jasa-jasa membangun masyarakat desa dengan wawasan lingkungan hidup. Tak gila pada penghargaan, Kasim meninggalkan Kalpataru itu di bawah kursi begitu saja. Hingga akhirnya ada seseorang yang mengantarkan penghargaan tersebut ke rumahnya. Kasim juga menolak ketika mendapat tawaran untuk study banding ke Amerika serikat. "Untuk apa saya harus ke Amerika yang punya tradisi pertanian berbeda dengan disini?" ujarnya.
Dedikasi Kasim kemudian diabadikan dalam puisi. Taufiq Ismail, penyair Indonesia terkemuka yang juga teman kuliah Kasim, menghadiahinya dengan sebuah puisi yang berjudul: "Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya". Dalam puisinya, Taufiq menuliskan renungannya.
"Dari pulau itu, dia telah pulang. Dia yang dikabarkan hilang. Lima belas tahun lamanya. Di Waimital Kasim mencetak harapan. Di kota kita mencetak keluhan. (Aku jadi ingat masa kita diplonco Dua puluh dua tahun yang lalu), Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca. Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi. Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku. Ketika aku mengingatmu, Sim".
Taufiq juga membuat penggalan puisi tahun 1979, menggambarkan sosok Kasim Arifin. "Dia di Waimital jadi petani. Dia menyemai benih padi. Orang-orang menyemai benih padi. Dia membenamkan pupuk di bumi. Orang-orang membenamkan pupuk di bumi. Dia menggariskan strategi irigasi. Orang-orang menggali tali air irigasi. Dia menakar klimatologi hujan. Orang-orang menampung curah hujan. Dia membesarkan anak cengkeh. Orang kampung panen raya kebun cengkeh".
Penggalan puisi di atas ditulis Taufiq Ismail pada tahun 1979, menggambarkan sosok Kasim Arifin. Setelah beberapa waktu, barulah dia menerima pinangan Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjádi dosen di sana hingga pensiun pada tahun 1994. Di Waimital, namanya selalu harum, bahkan diabadikan menjadi nama jalan. Seusai pensiun, dia tetap di Aceh dan menjadi aktivis lingkungan. Di usianya yang semakin senja, Kasim masih sempat menelusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu kontroversi.
Kasim menjadi salah seorang anggota tim terpadu yang ditugaskan pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang masih bermasalah tersebut. Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan perkampungan, Kasim yang memasuki usia senja tidak tampak kelelahan. "Pekerjaan saya memang seperti ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke Lokop," ungkapnya.
Kasim diketahui meninggal dunia pada tahun 2006 karena penyakit yang diderita. Namun, jasa dan perjuangan Kasim masih terus diingat hingga saat ini. Kasim adalah oase yang serupa mata air selalu menjadi telaga inspirasi yang tak mengering. Terima kasih,Profesor dari Pulau Seram.
Dikutip dari jayapura.karantina.pertanian.go.id dan berbagai sumber.
Editor : Edi Purwanto