BLITAR, iNewsBlitar.id - Beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi telah menandatangani Rancangan Undang Undang (RUU) Ibu Kota Negara menjadi Undang Undang (UU) Ibu Kota Negara. Lebih tepatnya, Undang Undang (UU) Ibu Kota Negara ini telah resmi disahkan DPR RI pada 18 Januari 2022 yang lalu. Dengan begitu, secara otomatis rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur bisa segera terlaksana. Kendati demikian, rencana pemindahan ibu kota ini masih mendapat pro dan kontra di masyarakat.
Banyak yang beranggapan bahwa perpindahan ini akan berdampak ke sejumlah sektor. Seperti sektor Ketahanan Nasional, sektor Lingkungan Birokrasi Pemerintahan, Sosial Politik dan Ekonomi dan aspek-aspek lainnya juga akan berdampak atas kebijakan perpindahan IKN ini.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban, Elisa Sutanudjaja menilai dengan adanya perpindahan ibu kota Negara menjadi salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam memproduksi surplus. "Jadi pemahaman yang diharapkan oleh Pemerintah pada saat argumentasi pemindahan itu dipakai supaya dia bisa mengumpulkan surplus baru di tempat lain (Kalimantan)," kata Elisa dalam Forum Diskusi Salemba 77 yang digelar ILUNI UI pada Sabtu 19 Februari 2022. "Pemindahan itu dipakai supaya dia bisa mengumpulkan surplus baru di tempat lain dan akhirnya menggerakkan ekonomi negara tapi kota itu tidak ada yang muncul dalam semalam," sambungnya.
Elisa menilai sejumlah wilayah yang dicanangkan menjadi kota baru tidak serta merta langsung bertumbuh yang seperti diharapkan sebelumnya. Dirinya mencontohkan kawasan BSD yang hingga saat ini membutuhkan 30-40 tahun untuk bisa berkembang. "Kawasan perkotaan itu biasanya tumbuh secara inkremental, tambal sulam dan dia tuh tumbuh bersama dengan populasi yang meningkat secara kualitas kuantitas dan juga beragam termasuk interaksi ekonomi sosial budaya dan politik nya," ucapnya.
Adapun dalam pengembangan sebuah kota yang akan dibangun, Elisa melihat harus tepat secara integrasi, politik, sosial budaya dan menjadi upaya tarik menarik serta mempengaruhi satu sama lain. "Karena itu tanpa ada konsensus, soal anggaran, tanpa demokrasi tanpa keterlibatan, maka itu bukanlah kota melainkan sekumpulan bangunan. Nggak papa juga setiap kota itu memiliki cara yang berbeda untuk menghasilkan surplus dan menggerakkan ekonomi," ungkapnya.
Elisa menambahkan Ibukota negara baru nantinya di era modern harus menjadi kota utama yang menyokong pertumbuhan ekonomi disekitar serta menarik strategi berinvestasi secara global. "Harapannya nanti pertumbuhan dan memasukkan investasi global dan satunya lagi sangat erat pertumbuhan di Jakarta dan di Jawa akan secara langsung menopang tumbuhan di sana," pungkasnya.
Editor : Edi Purwanto