BLITAR,iNewsBlitar - Insiden yang terjadi di Posko Petani Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar Jawa Timur Jumat pagi (14/10/2022), ditanggapi pihak perkebunan PT Rotorejo Kruwuk.
Kuasa Hukum PT Rotorejo Kruwuk Joko Trisno Mudianto menyebut insiden yang terjadi di Posko Paguyuban Petani Kelud Makmur (PPKM) bukan pengerusakan, melainkan langkah penertiban.
“Penertiban terhadap oknum masyarakat yang melakukan penjarahan,” tegas Joko Trisno kepada Sindonews Sabtu malam (15/10/2022).
Insiden terjadi pada Jumat (14/10/2022) pagi. Sejumlah orang tiba-tiba mendatangi posko petani PPKM di Desa Gadungan. Posko tersebut menjadi tempat petani melakukan koordinasi terkait perjuangan redistribusi tanah.
Menurut Joko, penertiban yang diambil tidak dilakukan tiba-tiba begitu saja. Sebelum langkah diambil, pihaknya sudah mengingatkan kepada pihak petani terkait pemasangan spanduk atau banner yang dinilai provokatif.
Banner yang bertuliskan: di sini lokasi prioritas reforma agraria, diminta untuk dicopot. Namun banner tersebut masih terbentang di lokasi. Pihak perkebunan juga menyoal keberadan bangunan yang disebut sebagai posko petani itu.
Menurut Joko, pendirian bangunan tersebut dilakukan tanpa meminta izin pengelola perkebunan atau kuasa hukum pihak perkebunan. Selain itu mereka juga telah menjarah tanaman perkebunan dan menanami dengan tanaman mereka sendiri.
“Ini juga tanpa izin pemilik atau kuasa hukum (perkebunan),” jelas Joko. Terkait tudingan preman bayaran, Joko mengatakan mereka yang terlibat dalam aksi penertiban itu bukan preman, melainkan pegawai perkebunan.
Dalam langkah penertiban tersebut, ia juga menegaskan tidak ada berkas petani yang dibakar. Joko juga mengatakan, saat penertiban berlangsung, dirinya berada di lokasi.
“Itu fitnah (preman). Itu orang kebun semua. Memang pegawai kita. Dan tidak semua ada di sana (perkebunan).Saya yang bertanggung jawab,” kata Joko.
Mengenai HGU (Hak Guna Usaha) atas 557 hektar tanah perkebunan yang dipegang PT Rotorejo Kruwuk, Joko membenarkan telah habis pada tahun 2009.
Namun setahun sebelum habis, yakni tahun 2008, pihak perkebunan telah mengurus perpanjangan. Semua syarat perpanjangan, termasuk pelepasan lahan 20 % dari luas lahan telah dipenuhi. Pihak perkebunan telah mengeluarkan surat pelepasan lengkap dengan tanda tangan di atas materai.
Namun hingga kini perpanjangan HGU belum diberikan negara. “Semua syarat yang dianjurkan sudah kita ikuti. Kalau belum dipenuhi (perpanjangan HGU), apa ya salah kita?. Tidak diterbitkannya HGU itu urusan negara,” papar Joko.
Meski perpanjangan HGU belum terbit, Joko mengatakan pihak PT tetap memiliki kewenangan atas perkebunan. Sebab lahan masih terus dikelola, dan pajak tanah perkebunan terus dibayar.
Karenanya status lahan bukan tanah terlantar atau tanah negara. Di sisi lain sejauh ini juga tidak ada dokumen yang menjelaskan adanya pengembalian tanah ke negara atau ditarik oleh negara.
Karena dasar itu juga, Joko mengatakan langkah penertiban yang ia lakukan bersifat legal. Yang dilakukan oknum masyarakat juga dianggap sudah melampaui batas kesabaran.
“Langkah penertiban menjadi salah satu syarat terbitnya perpanjangan HGU, yakni lokasi harus clear and clean seperti diminta BPN,” terangnya.
Soal lokasi tanah yang dilepas perkebunan, Joko mengatakan menjadi hak perkebunan. Yang pasti di dalamnya tidak termasuk lokasi posko yang ia tertibkan. Karenanya, jika ada pihak yang merasa tidak terima, dirinya mempersilahkan untuk melapor ke kepolisian.
“Silahkan lapor ke kepolisian. Kan enak, nanti saya tinggal jawab,” pungkasnya.
Editor : Solichan Arif