DI ERA DIGITAL, film menjadi salah satu media yang digandrungi sebagai ruang untuk berproses, menemukan jati diri, dan membentuknya (sekaligus memoles). Lahirnya banyak pembuat film dari skala komersial hingga berbasis non - komersial menjadi perwujudannya. Sekurang-kurangnya, hampir di setiap daerah dapat dipastikan ada sekelompok orang yang memproduksi film atau paling tidak aktivitas perfilman.
Dalam ranah aktivitas perfilman ada bagian-bagian yang saling terhubung dan menguatkan yaitu pemutaran, diskusi, hingga workshop atau lokakarya, syukur-syukur menjamah kajian seni pada tubuh film itu sendiri. Pada ranah produksi, acap kali diisi dengan mereka yang memang sedari awal fokus pada dunia film secara pendidikan maupun perkembangan teknologinya.
Sedangkan aktivitas perfilman digerakan oleh mereka yang menyukai dan punya visi misi sama dalam dunia perfilman meskipun tak jarang berisi orang non-pendidikan formal film semacam gerakan komunitas yang di dalamnya beraneka ragam latar belakang. Faktor inilah yang menjadi pembeda dan penguat komunitas itu terus tumbuh dan berkembang.
Salah satunya komunitas film yang menamai dirinya “Tantjapan-Dadakan” di Blitar. Aktivitas yang dilakukan komunitas ini cukup sederhana, berupa pemutaran film dan dilanjutkan ngobrol santai dengan para penonton ataupun kreator filmnya. Mereka sadar, keberadaan penonton menjadi bagian krusial dan perpanjangan napas bagi film itu sendiri.
Maka, merangkul penonton dan mendengar tanggapan mereka semacam pupuk yang menyuburkan. Hal semacam ini tentu tidak biasa dilakukan jika mereka menonton film di bioskop ataupun berlangganan pada aplikasi penyedia jasa. Kemewahan untuk saling bertukar gagasan, berbagi, dan bersilaturahmi adalah nyawa dari setiap komunitas. Semangat gotong royong selalu memancar di mana komunitas film melakukan kegiatan. Antusias penonton yang ingin tahu lebih jauh dari film yang diputar, kerangka kreatifnya, hingga perbincangan-perbincangan yang tidak bisa dihindari semisal teknis pembuatan selalu mewarnai.
Namun memang begitulah keotentikan pemutaran film oleh komunitas grassroots. Seperti bulan sebelumnya, “Tantjapan-Dadakan” kali ini memilih tempat pemutaran sederhana dan berbasis warung di Angkringan Kampoeng Moedjair pada 31 Juli 2022. Setidaknya ada lima film yang diputar dengan mengusung tema Anak-Anak, yaitu: Ibu karya MTSN 2 Blitar, Restu karya SDN Bendogerit 2 Blitar, Shodanco karya SDN Tanjungsari 2 Blitar, Labirin Lembu Suro dan Alienosaurus Di Ladang Tebu karya Gugun Arief.
Pemutaran yang sengaja dilakukan pagi menjelang siang ini, ingin menjaring penonton usia anak-anak hingga remaja untuk mulai sadar bahwa ada film-film semacam demikian yang diproduksi dan ditujukan untuk usia mereka. Sekaligus berbicara tentang ruang dan sekat-sekat pada aktivitas perfilman selama ini (termasuk masa pandemi) bahwa dunia anak adalah manifesto yang bisa dimaksimalkan dalam gagasan ide penciptaan. Tema Anak-Anak, menjadi pemantik dan jembatan bagi karya-karya yang dibuat selama pandemi tetapi minim menemukan ruang apresiasi sebagaimana yang kita ketahui bersama.
Pemutaran secara gerilya di Blitar sebetulnya bukan barang baru. Sudah banyak komunitas atau penggagas sebelumnya yang memulai dan mencoba meski pada akhirnya meredup dan padam. Memang gerakan pemutaran film yang masuk pada salah satu sub bagian distribusi aktivitas perfilman tidaklah mudah apalagi film-film dengan label indie. Butuh kedigdayaan, militansi, serta tidak mudah baper menjajakan dan membentangkan selembar kain untuk memantulkan proyektor.
Kehadiran komunitas film dan gerakan yang dilakukan rekan-rekan pemerhati film seperti di Blitar, misalnya, seharusnya menjadi angin segar bagi kemajuan industri perfilman sendiri. Bukan lagi sebatas dilirik kalau bisa dilihat secara seksama, syukur-syukur difasilitasi.Bukan melulu tentang finansial tetapi ruang pemutaran, akses film, maupun kerja-kerja kolaborasi lainnya. Karena di tengah dominasi media arus utama masih ada segelintir orang yang peduli merawat kesadaran akan beragamnya produksi film hari ini. Sebagai mata rantai perfilman, komunitas menjadi agen distribusi alternatif film Indonesia.
Editor : Edi Purwanto