SOLO, iNewsBlitar.id – Seekor kebo bule milik Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) mati akibat terpapar penyakit mulut dan kuku (PMK). Kebo betina keturunan Kiai Slamet ini mati pada Kamis (21/7).
Matinya kebo kesayangan Paku Buwono (PB) II, Raja Keraton Kasunanan menjelang peringatan malam 1 Suro (1 Muharram, tahun baru Islam) ini dikaitkan dengan hal-hal berbau mistis. Menurut perhitungan kalender Masehi, malam 1 Suro 2022 bertepatan dengan tanggal 30 Juli 2022. Selalu dikaitkannya hal mistis jelang 1 Suro, bukanlah hal aneh.
Pasalnya, kebo albino ini sangat erat sekali dengan perayaan malam 1 Suro. Setiap tahun pada perayaan malam 1 Suro, ribuan masyarakat selalu memadati ruas jalan yang akan dilalui kirab kebo bule. Mulai dari depan pelataran keraton kemudian mengelilingi tembok keraton dan kembali lagi ke dalam lingkungan keraton.
Jumlah kebo bule yang dikirab itu pun berbeda-beda tiap tahunnya. Ada yang hanya berjumlah tujuh ekor, ada pula berjumlah 9 ekor. Jam kirab itu pun setiap tahunnya berbeda-beda. Ada sebelum pergantian tahun, tepatnya tengah malam. Ada pula di bawah jam pergantian tahun.
Tergantung perintah dari Raja kapan kirab bisa dimulai. Namun meski sang Raja telah memerintahkan kirab dimulai, bila sang kerbau ngambek alias tidak mau keluar dari kandangnya, maka acara kirab bisa ditiadakan sampai sang kerbau mau keluar dari kandangnya.
Dalam tradisi di Solo, kebo bule menempati barisan terdepan sebagai cucuk lampah barisan kirab. Bahkan kirab tidak akan terlaksana jika kebo bule tidak keluar dari kandangnya.
Sebelum kirab, sang pawang mengawali dengan ritual terlebih dahulu. Dengan dikawal pawangnya yang berpakaian putih, celana hitam, ikat kepala, samir, summing gajah ngoling (rangkaian bunga melati yang dipasang di telinga).
Kebo-kebo ini terlebih dahulu disuguhkan ubo rampe berupa kembang hingga meminum kopi yang dihidangkan oleh abdi dalem. Usai makan sesaji, rombongan kebo bule yang menjadi cucuk lampah kemudian pergi. Iringan peserta kirab pun dimulai.
Begitu keramatnya kebo ini, masyarakat selalu berebut kotoran kebo yang berjatuhan selama kirab. Mereka meyakini adanya berkah bagi siapa saja yang mendapatkan kotoran kerbau. Tak hanya kotoran, kembang yang tak dihabiskan oleh hewan pusaka serta air minum kerbau ini pun tak luput dari serbuan warga.
Dihimpun dari referensi laman keraton yang mengutip dari buku Babad Sala karya Raden Mas (RM) Said yang dikenal sebagai Adipati Mangkunegaran atau Mangkunegara I, mengisahkan bila Kebo ini merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo Kiai Hasan Besari Tegalsari pada Paku Buwono II saat mengungsi ke Ponorogo.
Kala itu, Paku Buwono II masih tinggal di Keraton Kartasura. Paku Buwono II terpaksa mengungsi ke Ponorogo karena kondisi Keraton Kartasura yang tengah bergejolak akibat geger pecinan.
Setelah geger pecinan berhasil ditumpas, dan Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, Paku Buwono II ini pun membawa hadiah dari Bupati Ponorogo kembali ke Keraton kartasura. Kebo bule juga memiliki andil dalam menentukan lokasi baru untuk keraton.
Hal itu karena Keraton Kartasura telah luluh lantak saat geger pecinan, leluhur kebo bule ini pun dilepas. Mereka diikuti oleh para abdi dalem. Singkat cerita, kebo bule itu berhenti di lokasi yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Nama Kiai Slamet sendiri sebenarnya merupakan nama dari salah satu pusaka berbentuk tombak milik Keraton Kasunanan yang sering dibawa berkeliling tembok Baluwarti oleh Paku Buwono X. Saat kirab keliling tembok Keraton, Paku Buwono X selalu ditemani kebo bule yang mengikuti di belakangnya.
Karena rutinitas yang kerap dilakukan inilah kemudian berubah menjadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat keraton hingga saat ini.iNewsBlitar
Editor : Edi Purwanto